Bagaimana hukumnya shalat sunnah secara berjamaah seperti shalat Dhuha, Tahajud, dan lainnya? Apakah dibolehkan?
Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘AsqalaniKitab Shalat
فَضْلُ صَلاَةِ الجَمَاعَةِ وَالإِمَامَةِ
Keutamaan Shalat Berjamaah dan Masalah Imam
Hadits #407
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: احْتَجَرَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم حُجْرَةًبِخَصَفَةٍ، فَصَلَّى فِيهَا، فَتَتَبَّعَ إِلَيْهِ رِجَالٌ، وَجَاءوا يُصَلُّونَ بِصَلاَتِهِ… الحَدِيثَ، وَفِيهِ: «أَفْضَلُ صَلاَةِ المَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلا المَكْتُوبَةَ». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membuat bilik dari tikar, lalu beliau shalat di dalamnya. Orang-orang mengetahuinya dan mereka datang untuk shalat bersama beliau.” Al-Hadits. Di dalamnya disebutkan, “Sebaik-baik shalat seseorang itu di rumahnya kecuali shalat fardhu.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 731 dan Muslim, no. 781].Faedah hadits
- Adanya pembolehan pembatasan tempat di masjid dan dijadikan khusus untuk ibadah dan istirahat jika memang ada hajat dalam hal tersebut. Hal ini dibolehkan selama tidak mempersempit orang-orang yang shalat.
- .Hadits ini membicarakan tentang shalat malam, khususnya shalat tarawih. Walau memang shalat tarawih diperintahkan secara berjamaah di masjid karena yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan seperti itu, begitu pula dilakukan oleh Umar bin Al-Khaththab setelah itu.
- Adapun shalat sunnah di siang hari secara berjamaah, maka dibolehkan kadang-kadang saja, tidak dijadikan kebiasaan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa (23:414) menyebutkan bahwa umumnya shalat sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilakukan munfarid (sendirian), sedangkan shalat sunnah secara berjamaah dilakukan bila ada sebab tertentu saja.
- Niat menjadi imam boleh di pertengahan shalat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam awalnya shalat sendirian, kemudian para sahabat ikut berjamaah bersama beliau.
- Hadits ini menunjukkan keutamaan shalat sunnah di rumah kecuali ada shalat sunnah yang diperintahkan di masjid sebagai syiar.
- Pembolehan shalat sunnah di masjid.
- Referensi:
Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:382-385.
Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. 2:23-24.
==================================
Hukum shalat Dhuha dan Tahajud berjamaahHukum shalat Dhuha dan Tahajjud berjamah
Bagaimana hukumnya shalat duha & tahajjud berjamaah?
Jawaban:
Hukum Salat Duha Berjamaah
Shalat sunat itu ada yang disyariatkan dilakukan dengan berjamaah seperti shalat ied, shalat gerhana dan istisqa. Ketiga shalat ini tidak disyariatkan dilakukan dengan munfarid. Ada juga shalat-shalat sunat yang disyariatkan dilakukan dengan munfarid, seperti shalat rawatib, tahiyatul masjid dan syukur wudhu. Ketiga shalat ini tidak disyariatkan dilakukan dengan berjamaah.
Adapun shalat sunat Dhuha dianjurkan dilakukan dengan munfarid tapi terkadang boleh dilakukan dengan berjamaah karena ada beberapa dalil sebagai berikut:
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ: «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي بَيْتِهِ سُبْحَةَ الضُّحَى، فَقَامُوا وَرَاءَهُ فَصَلَّوْا فِي بَيْتِهِ» . قَالَ أَبُو بَكْرٍ: «فِي بَيْتِهِ يَعْنِي بَيْتَ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ»
Dari ‘Itban bin Malik Ra., ia berkata, “Bahwa Rasulullah Saw. Salat sunat Duha di rumahnya (‘Itban bin Malik), lalu orang-orang berdiri untuk salat di belakang Beliau di rumahnya.” Abu Bakar Ibnu Khuzaimah berkata, “Kalimat di rumahnya maksudnya rumah ‘Itban bin Malik.” HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah.
Adapun sebagian orang yang berpendapat bahwa salat duha berjamaah itu bid’ah. Mereka berpegang dengan hadis sebagai berikut :
عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ الْمَسْجِدَ فَإِذَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ جَالِسٌ إِلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ وَإِذَا نَاسٌ يُصَلُّونَ فِي الْمَسْجِدِ صَلاَةَ الضُّحَى قَالَ فَسَأَلْنَاهُ عَنْ صَلاَتِهِمْ فَقَالَ بِدْعَةٌ
Dari Mujahid, ia berkata, “Ketika aku dan 'Urwah bin Az Zubair masuk ke dalam masjid di sana ada 'Abdullah bin 'Umar sedang duduk di kamar 'Aisyah, sementara orang-orang melaksanakan shalat Duha dalam masjid.” Dia (Mujahid) berkata, "Maka kami bertanya kepadanya tentang shalat yang mereka kerjakan, maka dia berkata, ‘Itu adalah bid'ah’.” Bukhari dan Muslim.
Tanggapan : Pendapat ini keliru. Pasalnya, kata bidah yang dimaksud oleh Ibnu Umar dalam hadis ini bukan dalam pengertian bid’ah dhalalah (kesesatan) melainkan dalam pengertian sunah Nabi Saw. yang pernah hilang kemudian dikerjakan kembali. Pemaknaan demikian itu dikuatkan oleh sejumlah bukti, antara lain pernyataan Ibnu Umar sendiri dalam riwayat lain
عَنْ مُجَاهِدٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ:صَلاةُ الضُّحَى بِدْعَةٌ وَنِعْمَتِ الْبِدْعَةُ.
Dari Mujahid, dari Ibnu ‘Umar Ra. Ia berkata, “Salat duha itu Bid’ah, dan sebaik-baiknya Bid’ah.” HR. Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah.
Kemudian Sa’id bin Manshur meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Mujahid, dari Ibnu ‘Umar Ra. bahwa ia berkata, “
إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوا
Sesungguhnya dia (salat Duha) itu sesuatu yang diadakan dan sungguh ia itu sebaik-baiknya yang mereka adakan.”
عَنِ الْحَكَمِ بْنِ الأَعْرَجِ قَالَ : سَأَلْتُ ابْن عُمَرَ ، عَنْ صَلاَةِ الضُّحَى وَهُوَ مُسْتَنِدٌ ظَهْرَهُ إلَى حُجْرَةِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ، فَقَالَ : بِدْعَةٌ وَنِعْمَتِ الْبِدْعَةُ.
Dari al-Hakam bin al-A’raj, ia berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu ‘Umar Ra. tentang salat Duha sedangkan beliau sedang bersandar ke rumah Nabi Saw., beliau berkata, ‘Itu adalah Bid’ah, dan sebaik-baiknya Bid’ah’.”
Hukum Tahajud Berjamaah
Shalat Malam/Tahajud dianjurkan dilakukan dengan munfarid karena demikianlah umumnya shalat malam Nabi saw., antara lain diterangkan oleh Aisyah dalam hadis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Dari Aisyah Ra dia berkata, "Aku kehilangan Rasulullah Saw pada suatu malam dari tempat tidur, lalu aku mencarinya, lalu tanganku megenai bagian luar kedua telapak kakinya dalam keadaan beliau berada di masjid. Kedua telapak kakinya tegak lurus, dan beliau berdoa, 'Ya Allah, aku berlindung dengan ridhaMu dari bahaya murkaMu, dan berlindung dengan ampunanMu dari bahaya hukumanMu, dan aku berlindung kepadaMu dar adzabMu, aku tidak bisa menghitung pujian atasMu. Engkau adalah sebagaimana Engkau memuji atas diriMu'." (HR. Muslim)
Shalat malam/ tahajud boleh dilakukan dengan berjamaah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw bersama salah seorang sahabatnya, antara lain Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud sebagaimana keterangan berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي مَيْمُونَةَ, لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ...فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي فَقُمْتُ فَصَنَعْتُ مِثْلَ مَا صَنَعَ ثُمَّ جِئْتُ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِي ثُمَّ أَخَذَ بِأُذُنِي فَجَعَلَ يَفْتِلُهَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ. رواه البخاري ومسلم
Dari Ibnu Abbas, ia berkata,”Aku pernah tidur di (rumah) saudara perempuan ibuku (Maimunah). Aku ingin sekali memperhatikan salat Rasulullah saw. …setelah itu beliau berwudhu lalu salat, aku pun berdiri terus melakukan seperti yang beliau lakukan, kemudian aku berdiri di sisi (kiri) beliau, lalu beliau memegang kepalaku terus menjewer kupingku, lalu memindahkannya (ke kanan beliau). Kemudian beliau salat dua rakaat, lalu dua rakaat, lalu dua rakaat, lalu dua rakaat, lalu dua rakaat kemudian mewitirkan (dengan satu rakaat)”. (HR. Al-Bukhari no. 4204)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَلَمْ يَزَلْ قَائِمًا حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ قُلْنَا وَمَا هَمَمْتَ قَالَ هَمَمْتُ أَنْ أَقْعُدَ وَأَذَرَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. رواه البخاري
Peristiwa shalat malam berjamaah yang dilakukan Nabi Saw bukan karena ajakan atau anjuran beliau, tapi sahabat beliaulah yang sengaja ikut berjamaah dan Nabi saw. membiarkannya untuk menunjukkan kebolehannya.
Kesimpulan:
Shalat Tahajud dan duha pada dasarnya dilaksanakan dengan munfarid
Jika sedang shalat tahajud atau shalat duha ada yang ikut berjama’ah maka jangan dilarang
referensi :
https://persis.or.id/index.php/istifta/read/hukum-shalat-dhuha-dan-tahajud-berjamaah
\\\\\\\\\
Hukum Shalat Tahajjud Berjama’ah
Ustadz mohon maaf, saya siswa salah satu SMK Persis alumni dari salah satu Pesantren Persis tingkat Tsanawiyyah di Bandung. Mau bertanya apakah shalat tahajjud berjama’ah ada dalilnya? 0895-6125-xxxxx
Imam al-Bukhari menulis satu bab khusus: shalatin-nawafil jama’ah (bolehnya shalat sunat berjama’ah). Hadits yang ditulis beliau sebagai hujjahnya ada tiga; dua ditulis tanpa sanad dan matan hanya sebatas menyebut nama shahabatnya saja (ta’liq) yakni hadits Anas dan ‘Aisyah, dan satu lagi ditulis lengkap sanad dan matannya yakni hadits ‘Itban.
Pertama, hadits Anas. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar yang dimaksud adalah ketika Nabi saw shalat sunat berjama’ah di rumah Ummu Sulaim ibunya Anas, bersama Anas, anak yatim lain, dan Ummu Sulaim.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ لَهُ فَأَكَلَ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ قُومُوا فَلِأُصَلِّ لَكُمْ قَالَ أَنَسٌ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدْ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ فَنَضَحْتُهُ بِمَاءٍ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ وَالْيَتِيمَ وَرَاءَهُ وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفَ
Dari Anas ibn Malik, bahwasanya neneknya, Mulaikah, mengundang Rasulullah saw untuk makan satu makanan yang ia buatkan untuk beliau. Beliau pun lalu makan. Kemudian bersabda: “Berdirilah kalian, aku akan shalat mengimami kalian.” Anas berkata: Aku berdiri di atas satu tikar milik keluarga kami yang sudah hitam karena sudah sering dipakai. Aku lalu memercikinya dengan air. Rasulullah saw kemudian berdiri, dan aku juga seorang yatim membuat shaf di belakang beliau. Sementara nenek di belakang kami. Rasulullah saw shalat mengimami kami dua raka’at. Setelah itu kemudian pulang (Shahih al-Bukhari bab as-shalat ‘alal-hashir no. 380).عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ
Dari ‘Aisyah ra: Sesungguhnya Rasulullah saw keluar pada suatu malam di tengah malam. Beliau lalu shalat di masjid dan orang-orang kemudian mengikuti shalat beliau. Keesokan harinya orang-orang memperbincangkannya sehingga berkumpullah orang-orang yang lebih banyak dari malam sebelumnya. Nabi saw kemudian shalat dan orang-orang pun ikut shalat bersamanya. Keesokan harinya orang-orang memperbincangkannya lagi sehingga banyak sekali jama’ah masjid yang datang pada malam ketiga. Rasulullah saw kemudian keluar dan shalat, orang-orang pun mengikuti shalat beliau. Memasuki malam keempat, masjid sudah sesak dari jama’ahnya (dan Nabi saw tidak keluar shalat malam) sehingga beliau keluar untuk shalat shubuh. Ketika selesai shalat shubuh, beliau menghadap orang-orang, bersyahadat, dan mengatakan: “Amma ba’du. Sungguh tidak luput dariku keadaan kalian tadi malam, tetapi (aku sengaja tidak keluar) karena takut diwajibkan kepada kalian, nanti kalian tidak mampu mengamalkannya.” Sampai ketika Rasulullah saw wafat, keadaan shalat qiyam Ramadlan seperti itu (tidak berjama’ah rutin) (Shahih al-Bukhari bab fadli man qama Ramadlan no. 2012).Ketiga, hadits ‘Itban dimana Nabi saw shalat di waktu dluha di rumah ‘Itban lalu diikuti berjama’ah oleh Abu Bakar, ‘Itban, dan keluarganya.
قَالَ عِتْبَانُ فَغَدَا عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَعْدَ مَا اشْتَدَّ النَّهَارُ فَاسْتَأْذَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذِنْتُ لَهُ فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى قَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ مِنْ بَيْتِكَ فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي أُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ فِيهِ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَبَّرَ وَصَفَفْنَا وَرَاءَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ وَسَلَّمْنَا حِينَ سَلَّمَ
‘Itban berkata: Keesokan harinya Rasulullah saw dan Abu Bakar pergi ketika siang sudah tinggi. Rasul saw kemudian meminta izin masuk, dan aku pun mengizinkannya. Beliau tidak duduk sehingga bertanya: “Di mana tempat yang kamu inginkan aku shalat di rumah ini?” Aku pun menunjuk ke tempat yang aku inginkan aku shalat di sana. Kemudian Rasulullah saw berdiri dan takbir, kami pun bershaf di belakang beliau. Beliau shalat dua raka’at lalu salam, dan kami pun salam ketika beliau salam (Shahih al-Bukhari bab shalatin-nawafil jama’ah no. 1186).Ketiga hadits di atas adalah dalil bahwa shalat sunat, khususnya shalat dluha (merujuk hadits Anas dan ‘Itban) dan shalat malam (merujuk hadits ‘Aisyah), hukumnya boleh/mubah dikerjakan secara berjama’ah. Meski kasus shalatnya dluha dan shalat malam, Imam al-Bukhari memberikan kesimpulan fiqihnya umum: “shalat sunat” boleh berjama’ah, karena perbuatan Nabi saw tidak berarti membatasi untuk satu kasus tertentu, melainkan memberikan informasi bahwa yang semisal dengannya boleh diamalkan.
Hadits lainnya yang lebih spesifik menyebut Tahajjud berjama’ah adalah:
Pertama, hadits Ibn Mas’ud dimana ia merasa kapok berjama’ah Tahajjud dengan Rasulullah saw karena ternyata beliau shalatnya lama sekali, sampai-sampai Ibn Mas’ud ingin kabur seandainya tidak malu oleh beliau.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَلَمْ يَزَلْ قَائِمًا حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ قُلْنَا وَمَا هَمَمْتَ قَالَ هَمَمْتُ أَنْ أَقْعُدَ وَأَذَرَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari ‘Abdullah ibn Mas’ud ra, ia berkata: “Aku shalat bersama Nabi saw pada suatu malam dan beliau terus saja berdiri hingga aku menginginkan sesuatu yang jelek.” (Abu Wa`il berkata) Kami bertanya: “Apa yang anda inginkan?” Ia menjawab: “Aku ingin segera duduk dan meninggalkan Nabi saw.” (Shahih al-Bukhari bab thulil-qiyam fi shalatil-lail no. 1135).Kedua, hadits Hudzaifah dimana ia ikut berjama’ah shalat malam kepada Nabi saw dan beliau membaca surat al-Baqarah, Ali ‘Imran, dan an-Nisa`.
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ. ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّى بِهَا فِى رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا. ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلاً إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ رَكَعَ
Dari Hudzaifah ra, ia berkata: Aku pernah shalat bersama Nabi saw pada suatu malam. Beliau membaca surat al-Baqarah. Aku berkata (dalam hati): “Beliau akan ruku’ pada ayat 100.” Tetapi beliau melanjutkan. Aku berkata lagi: “Mungkin beliau akan shalat dengannya untuk satu raka’at.” Tetapi beliau terus membaca. Aku berkata lagi: “Beliau akan ruku’.” Tetapi beliau malah melanjutkan membaca surat an-Nisa`, kemudian melanjutkannya lagi pada surat Ali ‘Imran. Beliau membacanya dengan perlahan. Apabila lewat pada ayat yang mengandung tasbih, beliau bertasbih dahulu. Apabila lewat pada ayat yang mengandung permohonan, beliau (berdo’a) memohon dahulu. Dan apabila lewat pada ayat yang mengandung permohonan perlindungan, beliau (berdo’a) memohon perlindungan dahulu (Shahih Muslim kitab shalatil-musafirin bab istihbab tathwilil-qira`ah fi shalatil-lail no. 1850).Ketiga, hadits Ibn ‘Abbas dimana ia ikut berjama’ah shalat malam kepada Nabi saw ketika bermalam di rumah Maimunah istri Nabi saw yang juga bibi Ibn ‘Abbas.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ فَقُمْتُ أُصَلِّي مَعَهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ بِرَأْسِي فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ
Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: Aku tidur di rumah bibiku (Maimunah). Nabi saw kemudian bangun shalat malam dan aku pun ikut shalat bersama beliau. Aku berdiri di sebelah kirinya, lalu beliau memegang kepalaku dan menempatkanku ke sebelah kanannya (Shahih al-Bukhari bab idza lam yanwil-imam an ya`umma no. 699).Keempat, hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id yang menganjurkan seorang suami berjama’ah shalat malam bersama istrinya agar dicatat sebagai ahli dzikir
مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ
Siapa yang bangun di malam hari lalu membangunkan istrinya dan mereka berdua pun shalat setidaknya dua raka’at dengan berjama’ah, pasti mereka berdua dicatat sebagai orang-orang yang senantiasa dzikir kepada Allah dengan banyak (Sunan Abi Dawud kitab al-witr bab al-hatsts ‘ala qiyamil-lail no. 1453).Untuk hadits ‘Aisyah itu sendiri bisa ditambahkan sedikit
catatan bahwa yang dilaksanakan oleh Nabi saw pada malam Ramadlan itu adalah shalat Tahajjud biasa, bukan shalat Tarawih, sebab Nabi saw mengerjakannya tengah malam sampai akhir malam. Nabi saw juga shalat sendiri tanpa mengajak shahabat untuk ikut berjama’ah, sebagaimana biasanya beliau shalat malam. Hanya memang ketika para shahabat ikut berjama’ah, Nabi saw tidak melarang mereka, seperti halnya hadits Ibn Mas’ud, Hudzaifah, dan Ibn ‘Abbas di atas. Ini berbeda dengan Tarawih yang mulai diadakan di zaman ‘Umar dimana pelaksanaannya selalu di awal malam, masyarakat diajak untuk ikut berjama’ah, dan dirutinkan setiap malam sepanjang bulan Ramadlan.
Maka dari itu ‘Aisyah ra dalam hadits yang populer menyatakan: “Nabi saw tidak pernah menambah raka’at shalat malam lebih dari 11 raka’at, baik di bulan Ramadlan atau di luar Ramadlan.”
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاةُ رَسُولِ اللَّهِ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Dari Abu Salamah, bahwasanya ia bertanya kepada ‘Aisyah bagaimana shalat Rasulullah saw pada bulan Ramadlan? ‘Aisyah menjawab: “Beliau tidak menambah baik pada bulan Ramadlan atau selain Ramadlan atas 11 raka’at (Shahih al-Bukhari bab fadlli man qama Ramadlan no. 2013).Pernyataan ‘Aisyah ra “baik di bulan Ramadlan atau luar Ramadlan” menunjukkan status shalat malamnya sama, yakni Tahajjud, sebagaimana malam-malam di luar Ramadlan. Jika faktanya Nabi saw tidak melarang Tahajjud berjama’ah, maka hukumnya berarti boleh shalat Tahajjud berjama’ah.
Itulah sebabnya ‘Umar sendiri menyebut Tarawih yang digagas olehnya itu sebagai “bid’ah yang baik” karena memang di zaman Nabi saw tidak pernah dirutinkan setiap malam, tidak pernah masyarakat dianjurkan untuk ikut berjama’ah, dan tidak pernah dirutinkan juga dari awal malam. Akan tetapi jumhur ‘ulama sepakat ini boleh diamalkan, karena pada dasarnya ada contoh dari Nabi saw yang pernah mengamalkan shalat malam (baca: bukan tarawih) secara berjama’ah. Di samping itu, shalat malam bulan Ramadlan jadi bisa dilaksanakan oleh kaum muslimin dengan lebih bersemangat, dibanding jika shalat malam itu dilaksanakan seperti biasa di akhir malam dan tidak dengan berjama’ah (Fathul-Bari kitab shalatit-tarawih).
Maka dari itu, jika ada yang mempersoalkan shalat Tahajjud berjama’ah maka hakikatnya ia mempersoalkan sunnah yang sudah pernah diamalkan oleh Nabi saw dan para shahabat. Faktanya adalah yang diamalkan Nabi saw berjama’ah dalam shalat malam, baik Ramadlan atau di luar Ramadlan, adalah shalat Tahajjud. Lalu ketika sekarang khusus untuk yang bulan Ramadlan dimodifikasi menjadi Tarawih berjama’ah, jika hendak konsisten dalam alur berpikir, semestinya Tarawih berjama’ah tersebut juga dipersoalkan karena itu lebih tidak dicontohkan lagi oleh Nabi saw. Tetapi anehnya yang selalu dipersoalkan oleh pihak yang kontra Tahajjud berjama’ah adalah Tahajjud berjama’ah saja, sementara Tarawih berjama’ah mereka mengamalkannya. Ini adalah sebentuk inkonsistensi berpikir, ketidakajegan dalam metodologi, atau kekeliruan paham dalam ushul fiqih. Jika alasan kemasalahatan agar kaum muslimin melaksanakan shalat malam Ramadlan setiap malam dalam format Tarawih diterima padahal jelas tidak diamalkan di zaman Nabi saw, sementara alasan agar anak-anak muda dilatih shalat malam dengan bacaan yang panjang sebagaimana sunnah Nabi saw tidak diterima padahal jelas itu pernah diamalkan Nabi saw dan shahabat, ini jelas merupakan sebentuk kekeliruan pemahaman.
Apalagi jika sampai berani mengharamkan Tahajjud berjama’ah, sebagaimana pernah kami dengar dari seorang jama’ah kami tentang adanya pihak yang memberi fatwa demikian. Hemat kami, sesuatu yang boleh/mubah/halal, tetapkanlah sebagai boleh, jangan kemudian diharamkan dengan dalih bid’ah, sebab bisa termasuk mengharamkan yang halal dan diancam oleh Allah swt dalam QS. al-Ma`idah [5] : 87 dan at-Tahrim [66] : 1.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُحَرِّمُواْ طَيِّبَٰتِ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ ٨٧
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (QS. al-Ma`idah [5] : 87).يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكَۖ تَبۡتَغِي مَرۡضَاتَ أَزۡوَٰجِكَۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ١
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. at-Tahrim [66] : 1).
Wal-‘Llahu a’lam.
referensi: http://tafaqquh.net/2021/03/11/hukum-shalat-tahajjud-berjamaah/
Bisa juga simak di web yang lain sperti


Komentar
Posting Komentar