Keutamaan dan Hukum Shalat Berjamaah

Banyak sekali fadhilah atau keutamaan shalat yang dilakukan secara berjamaah. Di antara keutamaannya adalah menjadi washilah terhindar dari api neraka sekaligus bisa menyelamatkan kita dari sifat munafik. 
Shalat berjamaah juga mampu semakin meningkatkan peluang diterimanya shalat dibanding dengan shalat sendiri. Sampai-sampai ada ulama yang menyatakan bahwa tidak ada alasan Allah tidak menerima shalatnya orang yang berjamaah.
 Padahal bisa diterimanya shalat kita oleh Allah SWT membutuhkan berbagai macam persyaratan yang tidak ringan. Shalat yang diterima oleh Allah dimulai dari dipenuhinya syarat sahnya shalat dan rangkaian rukun yang harus dilakukan sesuai dengan kaidah yang sudah ditentukan oleh agama. Selain itu, shalat juga membutuhkan keikhlasan dan kekhusuan di dalamnya sehingga mampu menyambung dengan sang khalik.
 Peluang diterimanya shalat dengan berjamaah sangat tinggi karena satu saja jamaah bisa memenuhi unsur-unsur tersebut, maka shalat seluruh jamaah akan diterima Allah SWT.

 Fadhilah lain dari shalat berjamaah adalah diampuninya segala dosa dan dibalasnya ibadah shalat tersebut dengan pahala yang berlipat derajatnya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari yang menyatakan bahwa shalat berjamaah lebih utama dari shalat sendirian dengan mendapatkan 27 derajat dibanding shalat sendiri.  

 Jika anda termasuk orang yang sering merasa was-was, ternyata shalat berjamaah juga bisa menghilangkan perasaan tersebut dan menjauhkan diri dari godaan setan yang bisa bersemayam dalam diri manusia, menghembuskan rasa was-was ini.  

 Keutamaan shalat berjamaah harus dapat diraih secara kolektif. Artinya komitmen bersama sebelum melaksanakan shalat berjamaah harus dibangun oleh komunitas di masyarakat.



Sehingga kita pun sering melihat berbagai aturan yang ada dalam sebuah masjid terkait shalat berjamaah. Semisal waktu adzan dan jeda waktu yang disepakati antara adzan dan iqamah yang menandakan di mulai shalat. Jangan sampai komitmen ini dirusak oleh oknum yang memegang prinsip shalat awal waktu lebih baik, dengan mengenyampingkan kondisi sosial dan budaya yang ada pada daerah atau lingkungan tersebut.

Perlunya memastikan jamaah tidak tertinggal dalam shalat berjamaah juga penting untuk diperhatikan. Sehingga para ulama nusantara memberi solusi bijak dengan membudayakan puji-pujian (membaca shalawat dan syair lainnya) untuk menunggu para jamaah hadir semua di masjid atau mushala.
Sebuah kisah patut menjadi contoh bagaimana Rasulullah menunggu jamaah dalam shalat berjamaahnya. Suatu hari Sahabat Ali sedang berjalan tergesa-gesa menuju masjid. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang kakek tua yang ia kenal sebagai orang seorang Yahudi. Kakek ini berjalan dengan sangat pelan-pelan dan berhati-hati. Ali pun teringat pesan Rasulullah yang mengajarkan agar setiap muslim menghormati orang tua tanpa melihat siapa dia dan apa agamanya. Maka, Ali pun tidak mau mendahului kakek tersebut dan berjalan di belakangnya. Inilah yang akhirnya menjadikan Ali merasa ia sudah tertinggal shalat berjamaah dengan nabi. 

  Namun ketika memasuki masjid, Ali terkejut sekaligus gembira, karena Rasulullah dan para sahabat masih rukuk pada rakaat yang kedua. Ini berarti Ali masih punya kesempatan untuk mendapatkan keutamaan shalat berjamaah walaupun waktu subuh sudah akan habis. Setelah shalat para sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang tidak biasanya Rasulullah ruku’ begitu lama. Rasulullah pun menjelaskan bahwa saat ia shalat Malaikat Jibril tiba-tiba saja datang dan menahan punggung Rasul sehingga tidak bisa bangun untuk berdiri iktidal. 

Hal ini menunjukkan betapa tinggi penghormatan umat Islam kepada orang lain dan betapa Allah menghendaki semua orang mendapat kesempatan melaksanakan shalat berjamaah.

Perlu diketahui juga bahwa shalat berjamah tidak hanya berhukum wajib. Ada juga yang berhukum haram dan hukum-hukum lainnya. Hasan bin Ahmad al-Kaf memerinci hukum shalat berjamaah menjadi tujuh hukum yaitu: 






1. Fardhu a’in. Ini adalah hukum wajib berjamaah shalat Jumat bagi kaum laki-laki. Sehingga jika shalat Jumat tidak dilaksanakan secara berjamaah maka hukumnya pun tidak sah.



2. Fardhu kifayah. Ini merupakan kewajiban kolektif dalam artian jika sudah ada sebagian masyarakat yang mengerjakan shalat berjamaah, kewajiban masyarakat lainnya sudah gugur. Sebaliknya, jika tidak ada yang mengerjakannya, seluruh masyarakat bisa berdosa



3. Sunnah. Ini seperti shalat berjamaah Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Istisqa dan sebagainya.

 4. Mubah. Ini adalah shalat jamaah yang dilakukan dalam shalat-shalat yang tidak disyariatkan untuk berjamaah seperti shalat dhuha dan shalat rawatib (sebelum dan sesudah shalat). 

5. Khilaful Ula. Ini adalah ketika terjadi perbedaan niat antara imam dan makmum semisal imam berniat shalat bukan qadha (ada’) sementara makmum berniat qadha, atau sebaliknya. 

6. Makruh. Hal ini jika seseorang melakukan shalat berjamaah dengan imam yang fasik. 

7. Haram. Yakni seperti shalat berjamaah yang dilakukan di atas tanah hasil rampasan atau diperoleh dari cara yang tidak halal, di lokasi ghosob (tanpa izin) walaupun secara hukum, shalatnya tetap sah.

 Muhammad Faizin. Disarikan dari Kitab al-Taqrirat al-Sadidah fi al-Masail al-Mufidah. Dibahas pada Kajian Ngaji Ahad Pagi (Jihad Pagi), Ahad (20/10) di Aula Kantor PCNU Kabupaten Pringsewu, Lampung


Sumber: https://nu.or.id/syariah/keutamaan-dan-hukum-shalat-berjamaah-BGobi

=====================================

Wajibkah Shalat Berjama’ah ?

Sholat termasuk ibadah fundamental dalam agama Islam. Melaksanakan sholat berati menjalankan satu dari 5 rukun Islam, tanpa sholat tidak tampak keislaman seseorang karenanya sholat menjadi pembeda antara orang Islam dan kafir. Pelaksanaan sholat ada dua cara yakni secara berjamaah dan sendiri-sendiri. Dalam situasi kehidupan modern yang membutuhkan mobilitas tinggi sholat sendiri menjadi sebuah pilihan yang sering dipilih dengan alasan dapat menyesuaikan lama durasi sholat dengan kebutuhan. Namun, dalam banyak literatur disebutkan tentang keutamaan sholat berjamaah dibanding sholat sendiri. Lalu bagaimanakah hukum sholat berjamaah yang sebenarnya menurut Muhammadiyah?Dalam sebuah hadits di bawah ini dijelaskan betapa seriusnya untuk memenuhi panggilan sholat berjamaah di masjid yaitu:



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ [رواه مسلم].

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan) ia berkata: “Seorang buta (tuna netra) pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berujar: Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid. 
Lalu ia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah. Ketika sahabat itu berpaling, beliau kembali bertanya: Apakah engkau mendengar panggilan shalat (adzan)? Laki-laki itu menjawab: 
Benar. Beliau bersabda: Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat)”.
 (HR. Muslim no. 1044).

Hadis tersebut dijadikan hujjah bagi ulama yang berpendapat bahwa hukum shalat berjamaah adalah wajib. Selain hadis tersebut, pendapat ini juga berpegangan pada ayat al-Qur’an berikut,

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ [البقرة، ٢ :٤٣]

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk (QS. al-Baqarah (2): 43).

Maksud rukuk di sini ialah shalat, sedang “rukuklah bersama orang-orang yang rukuk” ialah shalat bersama orang lain yakni berjamaah.

Perintah melaksanakan shalat jamaah juga dapat dipahami dari hadis riwayat Malik ibn al-Huwairits berikut,


… قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لَا أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ [رواه البخاري ومسلم].

… kembalilah kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan perintahkan (untuk shalat). Beliau lantas menyebutkan sesuatu yang aku pernah ingat lalu lupa. Beliau mengatakan: Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat. Jika waktu shalat sudah tiba, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah yang menjadi imam adalah yang paling tua di antara kalian (HR. al-Bukhari no. 595 dan Muslim no. 1080).

Dari ayat dan hadis di atas dapat dipahami bahwa melakukan shalat jamaah adalah wajib, bahkan sampai dalam keadaan perang pun berjamaah harus dilakukan, seperti perintah dalam ayat tersebut. Namun, terdapat ulama yang berpendapat bahwa shalat jamaah hukumnya sunnah muakkadah. Pendapat ini didukung oleh mazhab Hanafi dan Maliki, sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaukani dalam Nail al-Authar jilid 3 halaman 146. Al-Karakhi dari ulama Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur. Pendapat mereka berdasarkan dalil hadis berikut ini,


عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً [رواه البخاري ومسلم]



Dari Abdullah ibn Umar (diriwayatkan), bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat”. (HR. al-Bukhari no. 609 dan 610, dan Muslim no. 1036 dan 1039)

.Hadis di atas menyebutkan tentang keutamaan shalat berjamaah daripada shalat sendirian, tidak menunjukkan tentang kewajiban melakukan shalat berjamaah. Shalat sendirian (munfarid) masih mendapatkan pahala, hanya tidak sebanyak pahala shalat berjamaah. 
Perbuatan yang masih mendapat pahala artinya tidak berarti sesuatu yang tidak boleh dikerjakan. Apabila tidak boleh dikerjakan tentu dilarang, dan bagi yang mengerjakan tentu tidak diterima dan tidak diberi pahala atau bahkan berdosa. Pendapat ini didukung pula dengan hadis berikut,


عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْظَمُ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ فَأَبْعَدُهُمْ مَمْشًى وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّي ثُمَّ يَنَامُ [رواه البخاري ومسلم].

Dari Abu Musa (diriwayatkan) ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang paling banyak mendapatkan pahala dalam shalat adalah mereka yang paling jauh (jarak rumahnya ke masjid), karena paling jauh dalam perjalanannya menuju masjid. Dan orang yang menunggu shalat hingga ia melaksanakan shalat bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang melaksanakan shalat kemudian tidur”. (HR. al-Bukhari no. 614 dan Muslim no. 1064)

Dari dalil-dalil yang telah disebutkan di atas apabila dikompromikan (al-jam’u wa at-taufiq), dapat dinyatakan bahwa yang ditemukan adalah dalil-dalil yang sangat memberikan tekanan untuk dilaksanakan shalat berjamaah serta keutamaan-keutamaannya, tetapi dalam pada itu tidak ditemukan dalil yang menunjukkan berdosa kepada orang yang meninggalkan shalat jamaah.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah, sebab tidak ditemukan dalil mengenai ancaman siksa atau dosa bagi orang yang meninggalkannya. Sekiranya hukumnya wajib, maka konsekuensi hukumnya adalah berdosa dan mendapat siksa apabila meninggalkannya. Mengingat hukumnya sunnah muakkadah, maka selama tidak ada uzur syar‘i, umat Islam sangat dianjurkan untuk melakukan shalat berjamaah di masjid.(sul)

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No.20, 2018 dengan penyesuaian

https://fatwatarjih.or.id/wajibkah-sholat-berjamaah/

Komentar